Pengumuman
hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) untuk
tahun 2014 baru saja dibuka. Hasilnya, sebanyak 125.406 siswa dinyatakan
diterima di perguruan tinggi negeri yang mereka pilih. Jumlah tersebut
setara dengan 16,13 persen dari total yang mendaftar, yaitu 777.536
siswa. Adapun mereka yang belum diterima, masih memiliki kesempatan
melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN)
yang akan dilaksanakan pada bulan Juni mendatang.
Meskipun
demikian banyak pihak yang mulai mempertanyakan keabsahan hasil Seleksi
SNMPTN tersebut. Pasalnya Ujian Nasional (UN) yang menjadi salah satu
faktor penentu kelulusan siswa dalam SNMPTN tahun ini diwarnai oleh
berbagai persoalan. Mulai dari status hukum UN itu sendiri yang dianggap
“illegal” karena bertentangan dengan keputusan Mahkamah
Agung (MA), dugaan adanya malfungsi UN, sampai dengan terjadinya
kebocoran soal maupun kunci jawaban yang beredar beberapa hari sebelum
pelaksanaan. Selain itu adanya beberapa butir soal yang beraroma politis
semakin menjauhkan UN dari nilai-nilai objektivitas.
Kebocoran
soal maupun kunci jawaban UN untuk tingkat SMA yang terjadi di kota
Bandung, Padang, Surabaya dan kabupaten Karang Anyar hendaknya tidak
dipandang sebagai persoalan yang sepele. Sebaliknya kecurangan yang
terjadi di daerah-daerah strategis tersebut seharusnya dijadikan bahan
pertimbangan oleh paniia SNMPTN untuk meninjau kembali kebijakannya
menjadikan niai UN sebagai salah satu penentu kelulusan. Hal ini
dikarenakan, tidak mustahil kebocoran tersebut menyebar ke daerah-daerah
lainnya. Sebagai lembaga yang menjunjung tinggi nilai – nilai
kejujuran, tidak ada alasan bagi perguruan tinggi untuk menerima siswa
yang menggunakan cara-cara kotor sebagai mahasiswanya. Jika kebijakan
ini dilanjutkan, tentu akan menciptakan ketidakadilan bagi siswa lainnya
yang mengerjakan soal UN dengan penuh kejujuran. Siswa yang memperoleh
nilai UN rata-rata 5 dengan jujur, dapat dengan muah dikalahkan oleh
siswa lainnya yang mendapatkan nilai rata-rata 8 dengan cara-cara yang
“tidak sah”.
Melihat
proses pelaksanaan UN yang jauh dari nilai-nilai kejujuran dan
objektivitas tersebut, tidak ada alasan bagi pemerintah maupun pihak
perguruan tinggi untuk tetap menjadikan nilai UN siswa sebagai salah
satu faktor penentu kelulusan dalam SNMPTN tahun ini. Mengharapkan output
yang baik dari sebuah proses yang penuh kedustaan hanya akan menambah
buruk wajah dunia pendidikan kita. Kita tentu tidak ingin melihat
anak-anak kita tumbuh dibawah bayang-bayang kedustaan yang akan
menghantui mereka sepanjang hidupnya. Kita juga tidak ingin melihat para
pemimpin kita dimasa depan lahir dari generasi (pendusta) semacam ini.
Sebaliknya,
untuk melahirkan para (calon) pemimpin yang jujur dan amanah,
diperlukan sebuah proses yang dilandasi dengan nilai-nilai kejujuran
pula. Menjadikan UN sebagai salah satu penentu kelulusan hanya akan
menjauhkan proses pendidikan dari nilai-nilai tersebut. Oleh karenanya tidak melibatkan nilai UN dalam penentuan kelulusan SNMPTN merupakan kebijakan yang tepat.
Sumber:
Ramdhan Hamdani
http://edukasi.kompasiana.com/2014/05/30/menyoal-keabsahan-hasil-snmptn-2014-661182.html